FOTO AIRLANGGA

Airlangga TV

Minggu, 16 Februari 2003

Wakil Ketua Umum PII, Airlangga Hartarto: Bisnis Properti Masih Hadapi Tantangan Berat

[SINAR HARAPAN] - Pembangunan di berbagai sektor di Indonesia, salah satu sektor infrastruktur terutama konstruksi dan properti, jelas ditopang oleh sumber daya manusia yakni kontraktor atau insinyur sebagai pelaksana. Keberadaan mal, trade center, gedung perkantoran, perumahan, apartemen, semuanya itu membutuhkan peran kontraktor/insinyur yang handal dan berkualitas.

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sebagai wadah bagi para insinyur di Tanah Air, banyak berkutat pada peningkatan mutu anggotanya, khususnya dalam melakukan sertifikasi, sehingga dapat bersaing tidak hanya di dalam negeri melainkan juga di level regional dan internasional. Misalnya menjalin kesepakatan dengan negara di ASEAN seperti ASEAN Engineer Register dan di tingkat Asia Pasifik melalui kesepakatan APEC Engineer Register.

Semua itu untuk mengarahkan PII kepada profesionalisme dan mampu bersaing di pasar global.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan PII terhadap situasi sektor infrastruktur utamanya konstruksi dan properti serta apa yang harus dilakukan ke depan, berikut wawancara dengan Airlangga Hartarto, Wakil Ketua Umum PII periode 2004-2006.

Bagaimana pandangan Anda mengenai kondisi konstruksi atau properti Indonesia saat ini?
Di masa-masa krisis, kita melihat bahwa begitu finansial tidak beres, semua proyek rontok. Sekarang pemerintah meskipun punya uang, lebih selektif. Policy atau kebijakan dari pemerintah sekarang yang terkait dengan jasa konstruksi lebih kepada pembangunan infrastruktur. Kalau tidak salah pemerintah menyediakan dana kurang lebih Rp 170 triliun khusus untuk pembangunan infrastruktur. Menurut saya itu jumlah yang besar sekali. Tetapi prioritasnya ke infrastruktur, belum ke yang lain. Jadi untuk proyek-proyek infrastruktur saya melihat bakal lebih mudah.

Tetapi untuk properti, sepertinya masih rada berat. Memang proyek-proyek mulai dibangun tetapi tetap belum menggembirakan dibandingkan sebelum krisis. Sebabnya, bank-bank masih memilih mana proyek yang menguntungkan, mana yang dianggap berbahaya, dan mana pelaksana proyek yang punya pengalaman bagus.

Seringkali pemberi proyek lebih mempercayakan pada kontraktor atau insinyur dari luar negeri?
Mereka berpikir yang menurut saya tidak nasionalis tetapi logis. Kalau Anda bikin bangunan besar seperti kantor, itu kan harus kembali cepat. Baguslah. IRR (internal rate of return) tentunya harus tinggi. Artinya dia perlu tenaga-tenaga yang dia percaya. Yang bisa ngomong benar dan tidak memberikan harapan-harapan kosong.

Kalau dibandingkan insinyur katakanlah dari AS yang ahli membangun hotel, mereka itu sudah membangun lebih dari 200-an hotel. Jadi dia tahu membangun hotel untuk berapa kamar, di daerah mana dan bisa dibayangkan.

Saya bilang logis karena kita kontraktor lokal yang baru bangun empat atau lima unit hotel misalnya, mereka sudah membangun 200 hotel. Maka orang akan lebih percaya. Ini yang dilakukan Singapura ketika membangun bandara Changi I. Pemerintah negara itu menggunakan kontraktor lokal dan asing. Kontraktor asing hanya mendampingi dan yang mengambil keputusan adalah kontraktor lokal. Dia bayar dobel. Untuk pembangunan Changi II, asingnya dibuang dan dia bikin sendiri.

Padahal kemampuan insinyur kita tidak kalah dalam membangun proyek properti?
Kemampuan itu harus muncul dari kesempatan. Jakarta kesempatan bagus, tetapi di daerah kesempatan sulit. Ibaratnya, kalau tidak berlatih, bagaimana kita bisa bertinju. Ini salah satu dari sekian banyak PR yang harus kita benahi. Dan yang menjadi masalah adalah kesenjangan daerah.

Artinya, selama ini PII banyak memfokuskan pada pengembangan SDM?
Sebagai organisasi profesi harus begitu. Kita harus banyak memfasilitasi, membina anggota kita supaya siap tempur. Menang kalah, terserah dia. Program sertifikasi yang kita jalankan adalah salah satu penjaminan mutu, bahwa orang yang kita certified adalah benar-benar orang yang qualified. Kita mulai sejak 1994, belajar dari negara lain dan sejak tahun 1996 kita baru memiliki sistem sertifikasi.

Orang-orang PII banyak yang datang dari BUMN sektor konstruksi?
Banyak. Tetapi mereka kan perusahaan. Selama perusahaan tempat mereka bekerja tidak diwajibkan bersertifikasi, mereka cenderung menunggu. Selama tidak ada yang mendorong atau memaksa, mereka berpikir entar aja sertifikasi itu. Jadi ini masalah bagaimana membangun pola pikir (mind set) masyarakat insinyur kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar