FOTO AIRLANGGA

Airlangga TV

Selasa, 27 Desember 2011

Airlangga Hartarto: Peraturan Menkeu Nomor 147 Timbulkan Kerawanan Sosial

Selasa, 27 Desember 2011 , 09:09:00 WIB


AIRLANGGA HARTARTO

  

RMOL. Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mengkritik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147 Tahun 2011 tentang Kawasan Berikat. Dampak dirasakan sejumlah pabrik tekstil dan alas kaki di Bandung.
“Investasi industri berupa tanah dan bangunan tidak wajar dipindah, apalagi sektor tekstil dan alas kaki merupakan sektor unggulan untuk penyerapan tenaga kerja,” kata Airlangga Hartarto kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Peraturan Menteri Keuangan tentang Kawasan Berikat meng­haruskan pengusaha di kawasan berikat berada di dalam kawa­san industri. Jika tidak dipindah ke kawasan industri, status ka­wasan berikat akan dihapus. Fasilitas pembebasan pajak pun hilang.
Dia mengingatkan, peraturan itu bisa menimbulkan kerawa­nan sosial karena menyangkut pemin­dahan tenaga kerja. Di tengah membanjirnya barang impor dari China, pemerintah seharusnya memberi insentif kepada industri tekstil dan alas kaki untuk ekspor.
“Terkesan tidak ada koordinasi mendalam dengan kementerian teknis lainnya,” ujar politisi Partai Golkar itu.
Berikut petikan wawancara.
Menurut Anda, Menkeu mengeluar­kan PMK 147 tanpa berkoordinasi de­ngan kementerian terkait dan DPR, apa memang begitu ?



Betul, Menkeu mengeluar­kan PMK tanpa berkoordinasi de­ngan kementerian terkait dan DPR?
PMK kewenangan pemerintah, tentunya perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perindus­trian, Kementerian Perdagangan serta BKPM. Ini terkait erat iklim investasi bagi perusahaan yang telah melakukan investasi di ka­wasan berikat maupun yang akan berinvestasi.
Dengan penandatanganan ACFTA banyak fasilitas yang semula diberi fasilitas menjadi disinsentif apabila perusahaan ingin mengalihkan pasar, dari pasar ekspor menjadi lebih dari 50 persen di pasar lokal.

Bila tidak direvisi?
Dampak negatif iklim yang tidak kondusif pemerintah se­dang mendorong kegiatan projob. Sedangkan di sini out­sourcing linkages dilarang jadi tidak men­dorong keterkaitan industri, teru­tama industri gar­men dan alas kaki yang dapat melibatkan industri kecil dan menengah (IKM). Lalu aturan terlalu ketat terhadap minimal jumlah ekspor, sehingga bila pe­rusahaan akan memanfaatkan pasar domestik maka kawasan berikat bagi perusahaan besar tidak menjadi persoalan tapi perusahaan kecil jelas meru­pakan biaya tinggi.

Kalau direvisi, apa yang perlu diluruskan?
Mengenai mewajib­kan exis­ting industri pindah ke kawasan industri, serta pelarangan out­sourcing linkages antarindustri kecil dengan industri di kawa­san. Lalu, minimal volume eks­por perlu diturunkan agar mam­pu meredam persaingan dengan produk sejenis dari serbuan China.

Pada tahun 2011, bagaimana nasib industri lokal?
Industri tekstil berkontribusi ter­hadap ekpor tahun 2011 dipro­yeksikan sebesar 13,6 miliar dolar AS naik 21 persen diban­ding 2010. Untuk alas kaki 3,2 miliar dolar AS atau naik 31 per­sen. Industri tekstil berkontribusi 8,7 persen dari Industri Migas dengan total tenaga kerja 10,13 persen tenaga kerja sektor manu­faktur tahun 2010, sedangkan alas kaki 1,8 persen berkontribusi terhadap sektor nonmigas.

Anda melihat maraknya ba­rang impor dari China mem­buat industri kita kewalahan?
Industri China, khususnya teks­­til dan sepatu, bermain pada low cost producer, tentunya mengganggu industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dari pe­nga­­matan di klaster perse­patuan Cibaduyut, industri alas kaki nasional masih bisa bertahan di industri berbahan baku kulit, untuk bahan baku kulit sintetis sudah kalah.
Ada kesamaan antara industri TPT dan alas kaki Indonesia-China, yakni sama sama men­jadi penjahit industri besar se­perti, Nike, Rocksport, Hugo Boss ti­dak mampu mengem­bang­kan merk sendiri sehingga di­jadikan produk substitusi manu­faktur oleh prinsipal utama.

Perlu pembenahan dalam industri kita dalam persaingan ACFTA?
Yang perlu dilakukan, mendo­rong penguatan struktur industri mulai dari hulu pembuatan be­nang, revitalisasi industri te­ngah spinning, weaving, knit­ting, printing finishing. Yang utama, biaya energi dan peru­ba­han atau kestabilan exchange rate ke­rugian industri akibat penguatan rupiah sepanjang tahun 2011 mendekati 25 persen, sedangkan biaya energi terkait dengan penguatan rupiah bila dikaitkan dengan kurs untuk ekspor men­capai 28 perosen. Untuk sektor hilir, kebijakan ke­tenagakerjaan penentuan UMR seringkali membuat wilayah provinsi ter­tentu menjadi kurang kondusif.

Industri lokal kita selama 2011 tumbuh?
Ya, khususnya produk tekstil. Ekspornya tumbuh sebesar 21,8 persen. Namun, impor juga me­ningkat 39 persen dengan tujuan utama ekspor Amerika Serikat masih mendominasi dengan pasar 36,9 persen. Industri alas kaki pangsa pasar AS mencapai 22,5 persen dan masih tumbuh sebesar 31 persen seiring dengan peningkatan impor.
Secara global Indonesia hanya sebagai eksportir no 11 dengan total ekspor seperdua puluh dari China atau 13 miliar dolar AS. Jadi dari berbagai sisi kewajiban pemerintah untuk membuat ke­berpihakan yang jelas pada industri TPT dan alas kaki nasional.

Komisi VI akan memanggil Menkeu untuk membahas ma­salah itu?
Komisi tentu akan menda­lami ini dengan mengundang kemen­terian terkait, termasuk Kemen­keu. Mungkin setelah reses. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar