"Kami akan melakukan studi banding untuk kedua undang-undang yang tengah kami bahas saat ini," kata Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto kepada Bisnis melalui telepon selularnya, hari ini.
Dia menambahkan Inggris dipilih sebagai bahan pertimbangan untuk pembahasan amandemen UU No.32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi karena negara ini sudah memiliki bursa komoditas yang menjadi referensi harga logam di dunia yakni melalui London Metal Exchange (LME).
"Kita perlu mempelajari mengapa LME bisa menjadi referensi harga logam dunia, kalau perlu, kita juga harus begitu, setidaknya menjadi referensi harga CPO dunia," kata Airlangga.
Dia meyanyangkan bahwa Indonesia selaku produsen utama minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) malah tidak menjadi penentu harga internasional. Namun, masih menggunakan harga referensi dari Rotterdam Belanda dan Bursa Malaysia Derivatives.
"Selama ini harga patokan untuk ekspor kita pakai dari Rotterdam, seharusnya bursa berjangka kita bisa menjadi penentu harga internasional," tutur dia.
Airlangga menambahkan dipilihnya Inggris juga karena negara ini sudah ada transaksi kontrak berjangka carbon dan sudah menerapkan UU perubahan iklim.
"Mungkin kita bisa menerapkannya di Indonesia, selama ini terkait perubahan iklim, kita masih tergantung dengan negara maju."
Untuk Hong Kong, lanjutnya, Komisi VI akan melakukan perbandingan terkait UU No.9/2006 tentang Sistem Resi Gudang.
"Kami akan jadwalkan studi banding ke Inggris dan Hong Kong pada akhir tahun, yakni sebelum sidang paripurna terakhir, karena kedua amendemen UU ini dijadwalkan selesai pada tahun ini juga," tutur Airlangga.
Saat ini, Komisi VI DPR bersama-sama dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) tengah membahas amandemen UU PBK dan UU SRG. Sejak awal Oktober 2010, kedua UU ini sudah masuk Badan Legislasi (Baleg) DPR.(yn)