Oleh Irsad Sati
Senin, 26 Desember 2011 | 19:06 WIB
JAKARTA: Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menilai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 147/2011 tentang Kawasan Berikat dibuat tanpa berkoordinasi secara mendalam dengan kementerian teknis seperti dengan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan serta BKPM.
Dalam hal ini, lanjutnya, kebijakan dan pengaturan soal perpindahan kawasan industri semestinya menjadi domain kementerian teknis, yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
"Akibat tidak terlalu berperannya kementerian teknis berdampak pada pelaku usahanya karena kebijakan itu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan," ujarnya, di Jakarta Senin (26/12/11)
Dalam hal ini, ungkapnya, peraturan tersebut merugikan industri yang sudah eksis di luar kawasan berikat karena investasi yang sudah tertanam dan hubungan industri dengan tenaga kerja serta intangible asset yang terbangun dari suatu proses industri hendak dihapus begitu saja.
Menurut dia, PMK tersebut tidak pro investasi karena tidak memperhatikan industri yang telah eksis karena bisa dibaca sebagai pencabutan fasilitas Kawasan Berikat bagi industri di luar kawasan berikat.
Airlangga menduga tidak pekanya aturan soal kawasan berikat dalam produk hukum tersebut karena tidak dilibatkannya menteri teknis secara intensif.
Oleh sebab itu, dia mendesak menkeu merevisi PMK No.147 terutama tentang mewajibkan existing industri pindah ke kawasan industri, serta pelarangan outsourcing linkages antar industri kecil dengan industri di kawasan.
Dia menambahkan revisi itu juga termasuk soal ketentuan minimal volume ekspor yang dinilai terlalu tinggi. "Ketentuan minimal ekspornya harus diturunkan agar mampu meredam persaingan dengan produk sejenis impor yang kini banyak masuk dari China.”
Ketua Komisi VI DPR itu berjanji akan memanggil Menteri Keuangan Agus Martowardojo dengan menteri terkait untuk meminta penjelasan soal PMK No.147/2011.
Dia mengatakan pemanggilan itu kemungkinan dilakukan pada awal tahun depan setelah masa reses dewan.
Sementara itu, Lili Asdjudiredja, anggota Komisi VI DPR yang juga Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan industri tekstil dan alas kaki menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dengan regulasi baru yang dikeluarkan Menkeu tersebut.
Dalam hal ini, lanjutnya, industri tekstil akan terkena dampak besar kalau regulasi itu mulai diberlakukan. "Peraturan Menteri Keuangan No 147 tersebut mengada-ada. Menkeu tidak memiliki wewenang untuk mengatur perpindahan kawasan industri."
Menurut dia, kewajiban untuk pindah ke kawasan berikat bagi industri yang sudah eksis di luar kawasan berikat berdasarkan regulasi baru itu menimbulkan biaya besar.
Lili mengaku sudah mendapatkan informasi dari kalangan industri tekstil bahwa mereka akan melakukan judicial review terhadap PMK No.147 tersebut karena dinilai sangat merugikan mereka. (Bsi)
JAKARTA: Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menilai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 147/2011 tentang Kawasan Berikat dibuat tanpa berkoordinasi secara mendalam dengan kementerian teknis seperti dengan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan serta BKPM.
Dalam hal ini, lanjutnya, kebijakan dan pengaturan soal perpindahan kawasan industri semestinya menjadi domain kementerian teknis, yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
"Akibat tidak terlalu berperannya kementerian teknis berdampak pada pelaku usahanya karena kebijakan itu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan," ujarnya, di Jakarta Senin (26/12/11)
Dalam hal ini, ungkapnya, peraturan tersebut merugikan industri yang sudah eksis di luar kawasan berikat karena investasi yang sudah tertanam dan hubungan industri dengan tenaga kerja serta intangible asset yang terbangun dari suatu proses industri hendak dihapus begitu saja.
Menurut dia, PMK tersebut tidak pro investasi karena tidak memperhatikan industri yang telah eksis karena bisa dibaca sebagai pencabutan fasilitas Kawasan Berikat bagi industri di luar kawasan berikat.
Airlangga menduga tidak pekanya aturan soal kawasan berikat dalam produk hukum tersebut karena tidak dilibatkannya menteri teknis secara intensif.
Oleh sebab itu, dia mendesak menkeu merevisi PMK No.147 terutama tentang mewajibkan existing industri pindah ke kawasan industri, serta pelarangan outsourcing linkages antar industri kecil dengan industri di kawasan.
Dia menambahkan revisi itu juga termasuk soal ketentuan minimal volume ekspor yang dinilai terlalu tinggi. "Ketentuan minimal ekspornya harus diturunkan agar mampu meredam persaingan dengan produk sejenis impor yang kini banyak masuk dari China.”
Ketua Komisi VI DPR itu berjanji akan memanggil Menteri Keuangan Agus Martowardojo dengan menteri terkait untuk meminta penjelasan soal PMK No.147/2011.
Dia mengatakan pemanggilan itu kemungkinan dilakukan pada awal tahun depan setelah masa reses dewan.
Sementara itu, Lili Asdjudiredja, anggota Komisi VI DPR yang juga Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan industri tekstil dan alas kaki menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dengan regulasi baru yang dikeluarkan Menkeu tersebut.
Dalam hal ini, lanjutnya, industri tekstil akan terkena dampak besar kalau regulasi itu mulai diberlakukan. "Peraturan Menteri Keuangan No 147 tersebut mengada-ada. Menkeu tidak memiliki wewenang untuk mengatur perpindahan kawasan industri."
Menurut dia, kewajiban untuk pindah ke kawasan berikat bagi industri yang sudah eksis di luar kawasan berikat berdasarkan regulasi baru itu menimbulkan biaya besar.
Lili mengaku sudah mendapatkan informasi dari kalangan industri tekstil bahwa mereka akan melakukan judicial review terhadap PMK No.147 tersebut karena dinilai sangat merugikan mereka. (Bsi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar