Krakatu Steel akan melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) sebanyak 3,1 miliar saham baru atau setara 20 persen dari modal disetor penuh perseroan. Saham yang ditawarkan ini bernominal Rp500.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia Airlangga Hartarto mengatakan, sesungguhnya penentuan mahal atau murah harga suatu saham bisa dengan membandingkan PE Ratio perusahaan sejenis. PE Ratio atau Price Earning Ratio (PER) adalah rasio harga saham terhadap laba bersih per saham perusahaan. "Jadi bukan harga sahamnya," kata dia saat dihubungi VIVAnews, Senin 1 November 2010.
PT Krakatau Steel masuk dalam sektor industri dasar dan kimia. Di sektor ini, sudah ada beberapa perusahaan yang lebih senior melantai di bursa, yaitu PT Jaya Pari Steel Tbk dan PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Meski secara ukuran dua perusahaan ini jauh lebih kecil, PE Ratio tetap bisa digunakan sebagai pembanding mahal atau murahnya suatu saham.
Bila PE Ratio-nya kecil, berarti harga saham itu masih murah. Demikian sebaliknya, semakin besar PE Ratio-nya, semakin mahal harga saham itu. Murah atau mahalnya suatu saham tidak bisa dilihat dari harga saham itu sendiri. Harga yang tinggi belum tentu mencerminkan kemahalan suatu saham.
Catatan perdagangan saham penutupan akhir pekan lalu, Jumat 29 Oktober, harga saham Jaya Pari Steel Rp810 dengan PE Ratio 7,8 kali. Sedangkan harga Gunawan Dianjaya Rp197 dengan PE Ratio 7,9 kali. Nah, bandingkan dengan Krakatau Steel yang PE Rationya 9,9 kali.
Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, penjamin emisi perusahaan Harry M Supoyo mengatakan bahwa PE Ratio Krakatau Steel masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis. Bahkan, dibandingkan dengan perusahaan baja di kawasan regional, seperti Posco (Korea Selatan) dan Tata Steel (India), PE Ratio Krakatau juga masih tinggi.
"Rata-rata PE Ratio perusahaan baja saat ini di kisaran 8,7 - 8,8 kali untuk proyeksi laba 2011," katanya.
Selama semester I-2010, pendapatan Krakatau naik menjadi Rp9 triliun dibandingkan periode yang sama 2009 yang hanya Rp7,8 triliun. Namun, laba bersih produsen plat baja canai dingin ini menurun menjadi Rp997,8 miliar dari sebelumnya Rp1,1 triliun.
Pesaingnya, Jaya Pari Steel adalah perusahaan nasional yang memproduksi plat baja canai panas dengan ketebalan 8 – 25 milimeter. Jaya Pari didirikan tahun 1973 dan memulai kegiatan operasionalnya pada 1976. Saat ini, total kapasitas produksi emiten dengan kode perdagangan JPRS mencapai 66.000 metrik ton plat per tahun.
Selama semester I-2010, pendapatan Jaya Pari naik hingga Rp237,03 miliar atau tumbuh 150,3 persen dibandingkan 2009 Rp94,6 miliar. Laba bersih juga meningkat signifikan dari minus Rp29,7 miliar menjadi Rp38,6 miliar, atau meningkat lebih dari 100 persen.
Sedangkan Gunawan Dianjaya adalah perusahaan yang didirikan pada 1989 dan bergerak dalam bisnis pelat baja, di mana sekitar 70 persen dari total penjualan merupakan ekspor dengan pembeli dari kontraktor galangan kapal, produsen alat berat, pedagangan baja internasional, dan perusahaan konstruksi.
Hingga semester I-2010, emiten berkode GDST berhasil membukukan laba bersih Rp119 miliar. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan semester-I 2009 yang masih membukukan rugi Rp209 miliar.
Penyebab positifnya kinerja perseroran adalah penjualan bersih yang tumbuh 7,57 persen menjadi Rp893 miliar dari posisi pertengahan tahun sebelumnya sebesar Rp830 miliar. (hs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar