[MEDIA INDONESIA] - Setelah mengeruk keuntungan Rp1,2 triliun dari penjualan premium pada Desember 2008, pemerintah kembali menangguk untung dari penjualan BBM bersubsidi tersebut di bulan Januari 2009.
"Bulan ini (Januari) belum dihitung, tapi ada sedikit keuntungan dari premium," ujar Dirjen Migas Evita Legowo seusai konferensi pers, di Departemen ESDM, Jakarta, Selasa (3/2).
Sedangkan Evita mengungkapkan, keuntungan yang diperoleh Januari lalu tersebut diperkirakan menurun."Keuntungannya turun karena harganya pun turun, tapi yang jelas tidak sampai triliunan. Saya tidak hafal," pungkas Evita.
Sekadar informasi, keuntungan yang diperoleh oleh pemerintah pada Desember 2008 Rp1,2 triliun. Pertamina yang mengurusi penjualan BBM bersubsidi ini mengaku telah menyetorkan keuntungan itu ke kas negara.
"Kita sudah setorkan setelah melalui proses audit," ujar Vice President Communications PT Pertamina (Persero) Anang Rizkani Noor. Namun ia mengaku belum mendapat informasi terkait adanya besaran keuntungan untuk penjualan periode Januari 2009.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI, Airlangga Hartarto menyatakan akan meminta penjelasan pemerintah terkait raihan keuntungan ini. "Kita akan meminta penjelasan tentang besaran keuntungan tersebut, dimana keberadaannya dan kapan akan disetor ke kas negara," ujar Airlangga, seusai menjadi moderator diskusi tentang sektor Migas di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta.
Selain itu, imbuh Airlangga, penyetoran keuntungan tersebut harus dilakukan setelah melalui audit dari pihak berwenang ataupun lembaga independen. "Perlu di cross check dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip standar akuntansi yang bisa dipertanggungjawabkan," ujar Airlangga.
Meski menurut UU Migas Nomor 21/2002 dan PP No 9/2005 tentang subsidi BBM jenis tertentu tidak mengijinkan adanya pihak tertentu yang mengambil keuntungan, Airlangga menyebut keuntungan yang diraih tersebut merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan.
"Hal itu terjadi karena penurunan harga BBM subsidi tidak beriringan dengan menurunnya harga minyak dunia, sehingga ada selisih. Namun seberapapun besarannya, harus tetap dijelaskan," ujar Airlangga.
Terkait pernyataan Presiden yang mengangkgap harga BBM bersubsidi saat ini sudah mencapai titik toleransi kemampuan keuangan negara, Airlangga berpendapat lain. "Kalau dari ICP yang kini berada di kisaran US$40-US$60 per barel dan dengan produksi yag cukup melimpah, sebenarnya masih ada peluang untuk menurunkan solar minimal Rp500 per liter. Harapannya, kalau solar turun, biaya angkutan akan semakin turun dan beban masyarakat juga tujrun. Jadi multiplier effect-nya terasa," pungkas Hartarto. (JJ/OL-03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar