FOTO AIRLANGGA

Airlangga TV

Rabu, 28 Mei 2008

Airlangga Hartarto, Ketua Komisi VII DPR-RI, Perlu Pengembangan Energi Alternatif

[APBI-ICMA] - Kebijakan subsidi sering dituding biang keladi yang membebani postur APBN, apalagi pengaruh melonjaknya harga minyak dunia. Sehingga pemerintah tidak ada jalan lain kecuali mengurangi subsidi yang membawa akibat kenaikkan harga BBM, yang membawa dampak social.

Memang, kondisi ini sangat ironis, jika melihat kekayaan sumber daya alam yang cukup besar di Indonesia. Artinya, potensi itu belum dikelola dengan baik oleh pengambil kebijakan di negeri ini. Ke depan tugas pemerintah harus mengatasi krisis energi dengan memprioritaskan solusi jangka panjang seperti menciptakan struktur energi mix, penemuan cadangan baru migas untuk menaikkan lifting minyak, dan program penghematan konsumsi BBM.

Secara panjang lebar Ketua Komisi VII DPR-RI Airlangga Hartarto menjelaskan kepada wartawan Investor Daily, Muhammad Ali dan Drajad Satrio Purnomo pada pekan lalu, bahwa kenaikkan BBM merupakan domain pemerintah. Namun, tugas DPR bersama pemerintah mengawasi pengelolaan sumber daya energi dan menciptakan sumber energi alternatif untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Berikut petikannya :

Sejak orde reformasi, dari beberapa pemerintahan yang ada, selalu BBM menjadi masalah. Apa yang salah dengan kebijakan pemerintah?
Salah satunya adalah memberikan subsidi BBM. Sebenarnya subsidi tidak dicabut dan subsidi tetap ada. Hanya saja, kenaikkan subsidinya yang dikurangi. Karena dengan kenaikan harga minyak $1 per barel, subsidi bertambah Rp 3 triliun. Jika harga minyak naik $20 maka subsidi juga naik Rp 60 triliun. Perhitungannya dengan harga minyak dunia US$ 120 per barel, kebutuhan subsidinya menjadi Rp 190 triliun. Itu di luar subisidi kebutuhan PLN.

Dan dengan melihat kondisi kenaikkan harga energi yang tinggi, terutama BBM tidak ada solusi jangka pendek yang bisa diambil atau yang bisa mempengaruhi postur APBN. Dari alternatif yang dikembangkan mulai menaikkan lifting minyak, menekan volume BBM bersubsidi, rescheduling hutang, maupun pemasukan pendapatan di sektor lainnya atau alternatif lainnya itu tidak bisa dilakukan secara instan. Sedangkan kebutuhan cash outflow dari negera setiap harinya riil, akibat kenaikkan harga minyak dunia. Dimana APBN akan tahan pada harga minyak dilevel 100$ per barel. Dengan demikian tekanan harga minyak harus dilepaskan..

Dalam UU Migas disebutkan bahwa subsidi akan dikurangi. Tapi, itu dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi, sehingga mau tidak mau negara harus ikut melakukan subsidi. Nah, pada saat harga minyak sudah naik tinggi maka negara tidak kuat menaggung beban subsidi yang nilai sekitar Rp 200 triliun. Belum lagi, bicara soal anggaran pendidikan yang nilainya sebesar Rp 60 triliun. Ini menurut saya tidak adil. Karena, bagaimana pun bagi bangsa ini masalah pendidikan sangat penting, bukan sekedar bakar minyak.

Dengan melihat hal itu, apa yang harus kita lakukan untuk jangka panjang?
Yang pertama, dari bidang kelistrikan harus ada kebijakan keberpihakan (affirmative policy) untuk mengembangkan panas bumi (gheotermal). Sehingga dari segi harga merupakan invetasi yang manarik, mengingat lima tahun mendatang sudah bisa dihasilkan. Kedua perlu ada sifting dari BBM yang mahal ke gas. Ketiga, pengelolaan batubara, dan Coal Bed Methane (CBM) yang mempunyai cadangan yang besar.

Oleh karena itu, pemerintah harus memprioritaskan solusi jangka pendek maupun jangka panjang. Jangan semua prioritas dijadikan satu, sehingga akan susah dan sampai kapanpun tidak bisa keluar dari krisis ini. Pada waktu pemerintah Megawati masalah ini pernah dibahas, pada waktu 2005 juga pernah dibahas. Jadi ini persoalan lama, yang penyelesainnya tidak cepat dan tidak fundamental.

Menurut Anda, bagaimana seharusnya mengelola sumber daya alam ke depan?
Sumber daya alam masih menghasilkan revenue yang cukup besar bagi negara sekitar Rp 300 triliun. Dan menurut saya, tidak ada sektor lain yang lebih besar dari migas dalam menyumbangkan kontribusi. Namun, ada yang salah dalam pengelolaan subsidi.

Ada sinyalemen asing terlalu banyak menguasai bisnis migas, sehingga ada wacana perlunya nasionalisasi sektor migas dan pertambangan. Apakah Anda setuju?
Nasionalisasi itu sudah dibahas dalam UU Penanaman modal. Menurut saya, nasionalisasi itu bukan jalan keluar dalam pergaulan perekonomian internasional. Karena, Indonesia sudah komit dalam percaturan ekonomi dunia akibat era globalisasi. Apabila sudah komit, sebagai negara besar tentunya akan patuh dan jalankan, walaupun pemerintah bisa berganti-ganti. Yang namanya investasi tidak tergantung hasil Pemilu.

Tatkala, ada kepentingan negara, silahkan duduk membahas persoalan bersama. Misalnya, pada waktu ekspor gas alam cair (LNG) ke Tiongkok dengan harga $25, dengan kenaikkan harga LNG saat ini mestinya Pemerintah bisa melakukan renegoisasi. Apalagi, PLN membutuhkan gas yang cukup besar, untuk kepentingan negara, tentunya pemerintah harus mengalokasikan gas tersebut.

Kendati demikian, nasionalisasi dari segi filosofinya untuk diterapkan saat ini menurut saya sudah tidak tepat. Artinya, jika ingin nasionalisasi silahkan lewat pasar modal. Sedangkan kalau bicara korporasi issue-nya bukan kepemilikan karena seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia harus membayar pajak yang nilainya cukup besar.

Tiongkok dan India cukup berhasil menata perekonomiaanya. Apa yang bisa diadopsi untuk kepentingan negara ini?
Memang perusahaan perusahaan mereka lebih kuat dibandingkan di Indonesia. Itu karena adanya keberpihakan pemerintahan terhadap perusahan lokal lebih jelas. Ambil contoh, ekspor barang ke China tidak gampang, tapi impor barang Tiongkok masuk ke sini gampang sekali. Apalagi, di India industri baja diproteksi cukup lama oleh pemerintah sehingga mereka mendapat economics of skill.

Sedangkan di Indonesia, industri baja di Indonesia tidak diproteksi. Oleh karena itu, menurut saya pemerintah saat ini sudah tidak ada keberpihakan kepada industri dalam negeri yang mengakibatkan industri tidak berkembang. Nah, yang memegang peranan penting adalah kebijakan pemerintah.

Contoh, pada saat krisis kedelai harganya melonjak. Selayaknya pemerintah harus berpihak kepada petani kedelai dengan mengambil kebijakan membebaskan biaya masuk impor maka barang menjadi murah. Jadi keberpihakan itu harus dilakukan pemerintah.

Tapi, kenapa kebijakan itu terus dipertahankan pemerintah?
Memang, kadang-kadang pemerintah melakukan trial and error dalam memutuskan suatu kebijakan. Selain itu, petunjuk yang digunakan fungsinya juga terbalik. Mungkin pemerintah kurang melihat secara keseluruhan. Jadi kita harus berpikir mana yang sifatnya strategis dan mana yang bisa dilakukan.

Seandainya Anda memimpin negera ini, apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi krisis energi?
Sebetulnya kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal I/2008 cukup bagus. Kalau melihat seluruh listed company sebagian besar mereka untung karena faktor ekonomi domestik dan faktor fundamental ekonomi sudah cukup kuat. Hanya persoalan yang dihadapi adalah kondisi ekternal seperti melonjaknya harga minyak dan pangan mengingat, persoalan ini menyangkut sistem percaturan ekonomi global.

Sehingga pada saat terjadi gejolak pasar global, kita tidak siap. Oleh karena itu, yang perlu diperkuat adalah daya tahan ekonomi lokal. Seharusnya pemerintah harus memproteksi pasar dalam negeri karena potensinya cukup besar dengan melihat populasi penduduk Indonesia.

Potensi-potensi ini yang harus dijaga. Sebenarnya Indonesia banyak mempunyai economics of skill, dan sumber daya alam, yang harus dikelola dengan baik untuk kepentingan dalam negeri. Indonesia harus contoh Brazil yang mulai tumbuh pesat. Sebagai negara yang baru saja keluar dari krisis ekonomi dan politik, serta sistem pemerintahan dan jumlah penduduk besar mirip dengan Indonesia, saat ini sudah bisa disebut sebagai negara ekonomi masa depan bersama Rusia, India, Tiongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar