[IMA-API] - Pemerintah dan DPR mengusulkan pembatasan luas konsesi tambang yang dikuasai perusahaan maksimum 100 ribu hektare (ha) pada Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Limit ini bertujuan agar tidak ada perusahaan yang menguasai lahan terlalu besar.
Pembatasan dilakukan atas jenis komoditas mineral yang ditambang berdasarkan pola eksplorasi dan eksploitasi. Saat eksplorasi, perusahaan tambang biasanya mencari dalam bentuk besar. "Setelah eksploitasi, lahannya akan diciutkan," ujar Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartarto saat berbicara pada Indonesia Mining Updates 2008 di Jakarta, Senin (14/4).
Dia mencontohkan, pasal 53 ayat (1) draf RUU Minerba menyatakan, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi mineral logam diberikan wilayah izin usaha pertambangan (Wl UP) dengan luas tidak melebihi 100 ribu ha. Contoh lain adalah pasal 54 ayat (1) untuk pemegang IUP operasi produksi mineral logam diberikan WIUP dengan luas tidak melebihi 25 ribu ha. Untuk pertambangan mineral bukan logam, pasal 56 RUU Minerba menyebutkan, pemegang IUP eksplorasi mineral bukan logam dibenkan WIUP dengan luas tidak melebihi 26 ribu ha.
Sementara itu, pasal 57 RUU Minerba mengungkapkan, untuk pemegang IUP operasi produksi mineral bukan legiun diberikan WIUP dengan luas tidak melebihi 5.000 ha.
"Untuk pertambangan batuan, pemegang IUP eksplorasi batuan diberikan WIUP dengan luas tidak lebih dari 5.000 ha. Sedangkan pemegang IUP operasi produksi batuan diberikan WIUP dengan luas tidak melebihi 1.000 ha," ujar Airlangga.
Airlangga menjelaskan, pemegang IUP eksplorasi pertambangan batubara diberikan WIUP dengan luas tidak melebihi 50 ribu ha. Pada pasal 63 dinyatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi batubara diberikan WIUP dengan luas tidak melebihi 15 ribu ha.
"Khusus metal mineral seperti timah, emas, dan tembaga, luas lahan yang diberikan hanya 100 ribu ha untuk eksplorasi dan saat eksplorasi menyusut menjadi 25 ribu ha. Sedangkan nonmetal seperti intan atau batu mulia, luas lahan yang diberikan hanya 25 ribu ha untuk eksplorasi dan 5000 ha untuk ekspoitasi," ujarnya.
Airlangga menambahkan, dalam RUU Minerba juga dimasukkan 'jatah' bagi rakyat di sekitar lokasi pertambangan untuk melakukan kegiatan tambang. Kendati begitu, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Menurut dia, izin pertambangan rakyat (IPR) diberikan dengan tujuan untuk menghindari kegiatan tambang ilegal.
Berdasarkan Bab VIII pasal 68 RUU Minerba yang mengatur lenteng IPR, luas wilayah satu IPR dapat diberikan kepada tiga pihak, yaitu perorangan dengan luas lahan tidak melebihi dari satu hektare, kelompok masyarakat tidak dari satu hektare, dan koperasi tidak melebihi 10 ha.
"IPR dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang. Setiap pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan," ujar Airlangga.
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia Arif S Siregar mengaku belum bisa memberikan komentar terkait pembatasan area lambang tersebut. "Semuanya masih sebatas draf. Namun khusus yang lahan IPR, hal tersebut agak sulit diterapkan. Pasti akan mendapat tentangan." kata Arif kepada Investor Daily. ketika dihubungi melalui telepon genggamnya di Jakarta, semalam. Arief mengaku tidak mempermasalahkan pembatasan lahan tersebut Alasannya, selama ini lahan tambang yang dimiliki sejumlah perusahaan tambang skala besar sudah cukup luas.
Mining Zone
Sementara itu, Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Felix Sembiring mengatakan, pemerintah akan menetapkan zona pertambangan (mining zone) dalam UU Minirba yang haru. Aturan tersebut disiapkan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi antara sektor ESDM dan kehutanan.
"Intinya, ini demi kepastian usaha. Salah satu yang menjadi penghambat investasi sektor tambang adalah kepastian lahan," kata Simon.
Dia mengatakan, sejumlah investor yang sudah mendapat persetujuan dan pemerintah sering gigit jari saat memulai eksplorasi. Sebab, izin dan Departemen Kehutanan tidak keluar. ''Karena itu, mining zone ini sangat penting." ujarnya.
Menurut Simon, zona pertambangan mengatur lahan yang bisa digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan. Dalam penyusunannya nanti. Departemen ESDM akan berkoordinasi dengan Departemen Kehutanan.
Simon membantah bila ada anggapan bahwa aturan zona pertambangan mengakibatkan kerusakan hutan. Alasannya, Departemen Kehutanan sudah memberikan batasan daerah mana yang boleh dan tidak dimasukkan dalam zona pertambangan. "lni justru melindungi hutan," ungkapnya.
Sementara itu. Ketua Presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia Herman Afif Kusumo meminta DPR segera meratifikasi RUU Minerba. Pasalnya, banyak pihak memandang RUU tersebut cukup mengakomodasikan kepentingan semua pihak.
Terlepas apa pun konsekuensinya, RUU tersebut harus segera disahknn menjadi UU. Alasannya. UU Pertambangan yang lama, yaitu UV No 11 Tahun 1967 sudah tidak relevan lagi," katanya.
Menurut Herman. UU Pertambangan yang baru dapat mencegah praktik bisnis pertambangan yang tidak bertanggungjawab. "UU yang lalu banyak grey area," ujarnya.
Airlangga Hartarto menjanjikan DPR dapat mengesahkan RUU Minerba menjadi undang-undang maksimum Agustus 2008.
Pemerintah Gagal
Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, pemenntah gagal mengoptimalkan pendapatan di sektor ESDM. Sektor ESDM, ujar dia, hanya memberikan kontribusi 3% dan total pendapatan negara. "Ironis. Di tengah naiknya harga komoditas ESDM di dunia. Indonesia malah terpuruk di sektor ini," kata Faisal di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, Indonesia tidak bisa menjumpai ruang yang cukup leluasa untuk meningkatkan produksi minyak mentah. Jika produksi tidak meningkat dan pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negen tetap melaju seperti saat ini, menurut dia, kenaikan harga minyak akan membuat defisit APBN membengkak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar